Kekaguman biarlah tetap menjadi kekaguman. Apa kalian semua pernah
merasakan jatuh cinta? disaat hati berbunga-bunga melihat seseorang yang
kita sukai lewat di depan kita, membuat jantung ini serasa berdegub
kencang. Itulah sekilas perasaan yang kurasakan ketika diriku melihat
sesosok gadis bernama Rifa. Gadis yang begitu sempurna dimataku.
“Hayooo… lagi liat siapa tuh?” bisik Rian dari belakang yang mendekatkan
mulutnya di telingaku. Tatapan sinis kini ku tunjukkan kepada si benalu
Rian yang seketika membuatnya salah tingkah dan lari terbirit-birit
ketakutan tanpa berani bicara apapun. Begitulah Rian, dia selalu
memojokkanku untuk segera mengatakan perasaanku ini pada Rifa.
Oh ya! perkenalkan namaku Andrian, tapi cukup panggil Andri sajalah
tak usah repot-repot. Aku duduk di bangku SMA kelas 2 jurusan IPA.
Sehari-hari pekerjaanku hanya diam di kelas, tidak pernah keluar kecuali
saat pulang sekolah. Mr. Cuek, begitulah sebutanku di kelas ini.
Hanyalah Rian yang mau berteman dengan ku, aku juga heran si Rian itu
betah sekali berteman dengan orang yang pendiam seperti aku, apa karena
nama kami sama-sama ada Rian-nya ya? Padahal kalau di pikir setiap
harinya dia selalu kutindas seperti barusan. Dan gadis yang ku bicarakan
tadi dialah sang pujaan hatiku. Cinta pertama hingga saat ini, teman
mulai dari TK hingga SMA, rumah kami pun salin berdekatan. Apalagi untuk
mengutarakan suka, tegur sapa saja bahkan kami tidak pernah padahal aku
satu kelas dengannya. Tapi aku tak pernah berani mengutarakan isi
hatiku padanya, yang kulakukan hanyalah memberinya sepenggal puisi
setiap pulang sekolah yang ku taruh di laci mejanya dengan memberi
inisial A. Itupun kulakukan secara diam-diam agar tidak ketahuan
olehnya.
“Rifa” teriak seorang cowok yang bertengger di depan pintu kelas ku
dengan gayanya yang sok cool. Dialah Ferly pacar Rifa saat ini. Alasanku
selain tak berani mengungkapkan perasaan ku ini pada Rifa juga karena
aku tahu Rifa sudah ada yang punya, aku tak ingin merusak kebahagiaan
Rifa. Meski beda kelas setiap hari Ferly selalu datang menjemput Rifa
kemari. Dibandingkan dengan cowok kutu buku seperti diriku, mungkin Rifa
lebih cocok dengan Ferly yang tampan dan juga terkenal di sekolah.
Cemburu? Iya sih, tapi berusaha ku pendam mengingat aku bukan
siapa-siapanya Rifa.
“Sabar ya sob” ungkap Rian sambil memegang bahu kananku yang entah sampai kapan berdiri di belakangku.
“Apa kau hantu?” tanyaku bercanda namun tetap menunjukkan wajah yang
amat serius pa Rian. “Bercandamu gak lucu sob. Tuh liat pujaan hatimu
pergi sama cowok lain, sampai kapan seperti ini?” ujar Rian
menasehatiku. Kata-kata yang sudah terlalu sering ku dengar dari mulut
manis Rian namun tak pernah ku anggap hanya kujadikan sebagai angin
lalu.
“Hey An.. kau dengar tidak sih?” bentak Rian yang mulai jenuh dengan
sikapku yang dari tadi tak merespon ucapannya. “Kau itu cerewet sekali
sih” dumelku yang kemudian meninggalkan Rian tidur.
“Yaaah! malah tidur. Terserah padamu” ujar Rian yang sedikit kesal lalu
meninggalkan ku pergi. Jujur, jika bisa aku ingin menghilangkan perasaan
ku ini pada Rifa. Melihatnya dengan laki-laki lain membuatku tak tenang
di dalam lelapnya tidurku. Andai aku ini bukannya seorang penakut yang
mau mengungkapkan isi hatinya sejak dulu, dan apa yang dikatakan Rian
memanglah benar, sampai kapan hidupku seperti ini jika aku tak mau
mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Rifa.
Ting… ting… ting…
Bel masuk berdentang yang artinya pelajaran IPA akan segera dimulai.
“Selamat pagi anak-anak?” sambut bu Indah dengan gaya yang dibuat manis yang baru memasuki kelasku.
“Selamat siang bu! ini kan sudah jam 12” ralat salah seorang murid
wanita kepada bu Indah. Kalian tau? dengan gampangnya bu Indah
mengiyakan perkataan murid itu tanpa merasa sedikit bersalah pada kami
dan kembali menunjukkan gayanya yang sok manis. Tak usah heran,
begitulah sifat bu Indah yang kadang kala tak kami mengerti. Cerewet sih
iya, tapi yang aku herankan sifat centilnya itu looh kok gak
berubah-berubah ya! Kenapa jadi gosipin bu Indah, kita kembali ke topik
awal. Kali ini bu Indah meminta kami untuk membuat sebuah proposal yang
terdiri dari 2 orang. Tugas yang mudah itu menurutku, tapi yang kuyakini
adalah pastinya aku satu kelompok dengan Rian, itu yang membuatku
sedikit kesal.
“aadduuuhh… tugas lagi males aku” keluh Rian lirih sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “nanti pastilah aku juga
yang mengerjakan” umpat ku dalam hati lalu mengalihkan perhatianku kini
pada Rifa yang tengah asyik bicara serius dengan Putri teman
sebangkunya. “Rifa, kau satu kelompok dengan Andri, ya” seuntai kata
yang tiba-tiba keluar dari mulut bu Indah yang mengejutkan ku dan
membuat perhatianku kini terfokus hanya untuk bu Indah. Rasa tak
percaya, benarkah aku bisa satu kelompok dengan Rifa, hati ini seakan
melayang-layang mendengarnya. Di saat hatiku sedang berbunga-bunga
mendengar kabar gembira, si Putri teman sebangku Rifa menolak tegas
keputusan bu Indah dengan berbagai alasan itu karena setiap harinya
Putri selalu bersama Rifa dalam mengerjakan tugas apapun. “dia itu gak
bisa lihat orang seneng apa?” dumelku lirih tapi sepertinya Rian tetap
bisa mendengarkan apa yang kukatakan.
“tenang sob, aku bantu, okey” celetuk Rian tiba-tiba memberi semangat
padaku yang tak pernah ku tahu apa maksudnya. “bu Andri biar sama Rifa,
Putri dengan ku saja bagaimana?” ujar Rian yang tiba-tiba mengacungkan
tangan dan berpendapat seperti itu.
“hiii… ooouuuggaaahh. Mimpi apa aku semalam kok bisa satu kelompok
denganmu?” tolak Putri yang spontan membuat seluruh siswa di kelas
tertawa melihat tingkah konyol mereka yang saling beradu mulut.
“sudah.. sudah, keputusan ini sudah diratifikasi jadi jangan ada yang
protes” sela bu Indah di tengah perang mulut antara Putri vs Rian yang
kini mulai redup.
“tapi bu…” ungkap Putri yang masih tak terima dengan keputusan bu Indah tapi sepertinya beliau tak mau menerima masukan apapun.
Waktu berlalau begitu cepat, bel pulang berbunyi, yang memaksaku
untuk segera merapikan buku-buku yang bercecer tak karuan di atas meja
dan segera beranjak pulang. Seperti biasa sebelum beranjak pergi diriku
selalu menyempatkan untuk mengintip Rifa di kelas yang tengah membaca
puisi yang ku tinggalkan tadi pagi.
“Tuhan… tolong bantu dia memejamkan matanya, temani dalam mimpi
indahnya. Agar esok dia terbangun dengan senyum manisnya, sampaikan
padanya bahwa aku ingin jadi kekasih yang terbaik baginya” ujar Rifa
tersenyum ketika membaca surat dariku yang setelah itu dia taruh di tas
mungil miliknya dan segera beranjak pergi. Aku tak pernah mengerti apa
yang Rifa perbuat terhadap surat-surat yang kuberikan padanya, apakah
disimpannya atau malahan dibuangnya. Namun, aku tak akan menyarah sampai
disini, walau aku tak mengetahui bagaimana perasaannya padaku tapi yang
pasti adalah aku ingin selalu membuatnya tersenyum dengan puisi-puisi
yang ku ukir untuknya.
—
Setapak demi setapak aku berjalan sendiri, mengingat letak sekolah
yang tak jauh dari rumah membuat aku harus berjalan. Langkah ku terhenti
ketika aku tau sesosok bidadari memberikan senyuman tipis untuk pertama
kalinya ditunjukkan kepadaku. Ketika aku melewati depan rumah Rifa.
Jantungku kini mulai berdegub kencang. Sesegera mungkin ku berlari untuk
menghirup oksigen dan menenangkan hatiku di tengah gelapnya malam tanpa
sempat membalas senyuman yang diberikan Rifa tadi padaku. Rasa tak
percaya masih menyelimuti hati ini yang selalu segera membaringkan
tubuhku di atas kasur.
—
Pagi yang mendung, ditemani oleh suara gemericik hujan yang tiada
berhenti. Aku duduk termangu sambil menghela nafas menyaksikan gerimis
yang tengah mengguyur bumi di teras sendiri. “Andri” teriak seorang
wanita yang suaranya tak asing lagi ditelingaku. Ku lihat Rifa yang
tengah berlari ke arahku sambil membawa payung untuk melindunginya dari
guyuran air hujan yang kini mulai reda.
“Ri… Rifa, kenapa kau kemari?” tanyaku terbata–bata yang seakan tak
percaya, orang yang kucintai sudah berada di depan ku saat ini. “ibu tak
bisa mengantarkanku, aku di suruh berangkat bareng kamu. Tidak apa-apa
kan?” ungkap Rifa yang tersenyum manis didepanku. Tuhan! Apakah ini
sebuah anugerah, bertahun-tahun aku bermimpi untuk bisa berbicara dengan
Rifa meskipun hanya sepatah kata dan kini akhirnya impian itu terwujud,
bahkan dia mengajakku berangkat bersama. Bagai pepatah yang mengatakan
“sekali dayung dua, tiga pulau terlampaui”. He he he.
“e… tapi aku kan jalan kaki, apa kau mau tetap bareng Rif?” tanya ku
basa basi yang sebenarnya di dalam hatiku ingin sekali aku berangkat
dengannya dan berharap Rifa tak kan menolak.
“hari ini kan hujan, bukankah jalan kaki lebih baik” ujarnya yang
kembali tersenyum kepadaku. Segera ku langkahkan kakiku untuk mengambil
payung dan berangkat bersama Rifa ke sekolah. Tak ada hal yang kami
bicarakan kecuali pelajaran sekolah. Begitu kaku dan terkadang jawaban
yang dilontarkannya pun agak cuek padaku, apakah karena ini baru kali
pertama kami bicara. Saat akan memasuki gerbang sekolah tanpa sengaja
kami berpapasan dengan Ferly, yang segera mungkin Rifa berpaling dari
pandanganku dan lebih memilih bersama Ferly. Dan lagi, hatiku terasa
sakit, mungkin memang inilah balasan yang tepat bagi penakut seperti
diriku.
Matahari sudah menampakkan cahayanya hingga masuk ke sela jendela
kelasku. Bel istirahat sudah berbunyi dari tadi, namun teman-teman
dikelasku lebih memilh duduk manis dikursinya masing-masing.
“An.. ke kantin yuk!?” ajak Rian.
“ngapain? males aku” tolak ku sembari meletakkan buku yang tadi kubaca
di atas meja. “bantuin bu kantin cuci piring An.. udah tau mau makan
kenapa masih tanya, ayo aku laper” rengek Rian padaku. Dengan terpaksa
aku menuruti permintaanya tanpa berani komentar. Sesampainya di kantin
sambil menunggu Rian yang tengah memesan soto kesukaannya, ku lanjutkan
kembali membaca buku yang tadi sempat tertunda gara-gara ikut Rian.
“boleh aku duduk?” tanya Rifa yang tiba-tiba berdiri dibelakangku dan
langsung duduk disampingku yang belum sempat ku balas pertanyaannya
tadi.
“sendirian?” tanya Rifa padaku.
“nggak!” jawabku singkat dan rasanya jantung ini mulai berdegub kencang
hampir saja aku sempat pingsan karena tak percaya melihat Rifa duduk
disampingku sekarang.
“tumben gak sama Ferly?” tanyaku basa basi.
“aku sudah putus An!” jawab Rifa dengan nada cuek.
“be… benarkah?” tanyaku terbata-bata yang mengklarifikasi kembali
pertanyaan Rifa tadi. Rifa mengangguk pelan. Sungguh berita yang
menggembirakan bagi diriku, tapi entah untuk Rifa yang sedari tadi hanya
diam memandangi makanan yang ada dihadapannya.
“eh.. ada Rifa tumben sendiri mana Putri?” tanya Rian yang tiba-tiba muncul dan duduk di depan kami.
“Yan, kau benar-benar naksir Putri ya?” tanya Rifa dengan nada serius,
padahal yang ku tau sebenarnya Rian tak suka dengan Putri, tapi entah
kenapa Rian selalu mengganggu Putri. Itulah yang ku bingungkan dari
sifat aneh sahabatku ini.
“bercanda Rif. Tapi di banding aku sepertinya ada yang lebih senang saat
ini” ujar Rian yang sepertinya mulai macam-macam dengan ku.
“siapa Yan?” tanyaku pura-pura seraya menginjak kaki Rian lalu tersenyum palsu dihadapan Rifa.
“nggak ada kok, bercanda lagi. He he he” ujar Rian tersenyum sambil menahan rasa sakit dan terus memakan soto kesukaannya.
“kamu itu ada-ada saja Yan!” ungkap Rifa tertawa kecil. Melihatnya,
entah kenapa hatiku begitu gembira, apakah ini perasaan cintaku yang
sesungguhnya. Seandainya Rifa mengetahui perasaan ku ini. Cinta yang
benar-benar tulus untuknya. Jujur, aku memang tak pernah pacaran. Aku
juga tak tau gimana rasanya punya pacar, tapi yang ku tau pasti
“senyuman Rifa berharga untukku”.
“Mr. Cuek lagi baca apa?” toleh Rifa padaku dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“aduh… aduh. Jadi Mr. Cuek nih. Ngomong-ngomong aku pergi dulu ya ada urusan” celetuk Rian dengan tawa menggoda kemudian pergi.
“temanmu itu aneh ya, An” ungkap Rifa yang kembali memamerkan senyumannya.
“Rian memang seperti itu sejak dulu” jawabku tanpa ekspresi.
“jadi kerumahku nggak? kita belum mengerjakan tugasnya bi Indah kan?” tegas Rifa sambil merebut buku yang sedang ku baca.
“kembalikan?” paksa ku sambil berusaha merebut bukuku yang di ambil
Rifa, dengan sigapnya Rifa terus saja bisa menghindariku hingga aku
kesulitan menagkapnya dan akhirnya menyerah.
“nanti pulang sekolah aku kerumahmu” ujarku pasrah namun tetap menunjukkan wajah cuek ku padanya.
“penakut” ujar Rifa tiba-tiba sembari mengembalikan buku yang tadi
direbutnya dariku yang membuat aku tercengang dan berpikir macam-macam
oleh kata-katanya barusan.
“ayo kita kembali ke kelas.” Ujar Rifa kembali yang lagi-lagi tersenyum
manis dihadapanku. Apakah mungkin Rifa telah mengetahui perasaanku ini
dan apakah pula ini pertanda dari Rifa untuk ku, sungguh aku tak bisa
mengartikan arti dari kalimat Rifa tadi. “aku mencintaimu” andai
kata-kata itu bisa ku ungkap sekarang. Hanya pada waktulah aku bisa
percaya, entah kapan dan dimana aku pasti akan mengatakannya.
Bel pulang akhirnya berbunyi. Seperti biasa diriku selalu
melangkahkan kaki ini sendiri saat pulang sekolah, hanya ditemani angin
yang dari tadi bertiup menyegarkan badanku yang dibasahi keringat.
“huuufftt! sendiri lagi” timpal ku dalam hati yang terus menyusuri jalan.
“Andri!” teriak seseorang dari arah belakang yang jikalau aku tidak
salah itu pasti suara Rifa. “kau itu jalan cepat sekali An, pelan-pelan
dong?” gerutu Rifa yang kehabisan napas karena mengejarku.
“kau tidak bilang?” jawabku santai.
“dasar tidak punya perasaan” tegas Rifa marah yang kemudian melanjutkan
jalannya sendirian sedangkan aku terdiam merenungi perkataanku tadi yang
membuat Rifa marah. Apa mungkin sikapku tadi keterlaluan. Aku ini
benar-benar pria payah bahkan untuk memperhatikan wanita yang ku sukai
saja, aku tidak bisa, bagaimana bisa ada seorang wanita yang menyukaiku.
“hey, sampai kapan kau terus diam? Cepat ikut aku ke rumah” teriak Rifa
dari kejauhan yang lalu melanjutkan kembali jalannya. Segera, aku susul
Rifa secepat yang ku bisa dan ikut bersamanya.
Setelah hampir 10 menit kami berjalan, akhirnya sampailah aku di
kediaman rumah Rifa yang baru pertama kali aku memasukinya setelah 13
tahun aku menjabat sebagai temannya. Meski telah mengenal orang tuanya
sejak dulu mungkin aku jarang keluar rumah aku tidak begitu akrab dengan
orang sekitar, bahkan terkadang aku tidak tahu namanya.
“ini silahkan? kau pasti haus” ujar Rifa yang menyuguhkan minuman duduk
disebelahku, mengamati tiap-tiap kata yang kutulis dengan teliti dan
serius.
“sebenarnya kau itu pintar juga ya, tapi kenapa tidak pernah kau
tunjukkan?” tanya Rifa penasaran sembari terus membaca tulisanku dengan
serius.
“kau tidak perlu tahu semua tentangku, bukan?” lagi-lagi seperti biasa ku jawab pertanyaan Rifa dengan santainya.
“seorang anak kecil seperti ingin menyampaikan sesuatu lewat sebuah
senyuman. Tersenyumlah lagi seperti dulu, apakah aku harus meyakinkanmu
seperti anak kecil itu dengan sebuah ketulusan milikku? yakinlah di
dunia ini masih ada aku yang akan selalu ada di sisimu. Apa kau kenal
An, pemilik puisi ini?” tanya Rifa tiba-tiba yang membuat ku tersentak
kaget mendengarnya, itu bukannya puisi yang kuberikan tadi ketika pulang
sekolah. Tingkah ku kini serba salah, mataku melirik kemana-mana tak
tentu arah hanya bisa menelan ludah untuk mengurangi rasa gugupku yang
sedang berlangsung.
“An, kau kenal tidak?” tegas Rifa untuk kedua kalinya.
“mu… mungkin itu dari penggemarmu” jawabku terbata-bata.
“benarkah? menurutku dia bukan penggemar An, tapi hantu yang sukanya
mengusik ketentraman orang” ungkap Rifa yang melanjutkan kembali
aktivitasnya membaca. “Mengusik” padahal bukan itu yang ku inginkan.
Tujuan awal ku mengiriminya puisi setiap hari adalah agar Rifa tahu
bahwa ada seseorang yang tulus mencintainya hingga saat ini. Jika itu
membuatnya terganggu, maka mau tidak mau aku rela menyerah.
“tapi entah mengapa katika aku membaca surat darinya selama ini, membuat
aku jatuh cinta pada setiap tulisan yang dia berikan” lanjut Rifa
kemudian yang membuat hatiku merasa tersentuh mendengar kalimat itu.
“dia pasti sangat menyukaimu ya Rif?” tanya ku pura-pura yang sudah
pasti tahu jawabannya, andai aku bisa mengatakan bahwa orang itu adalah
aku, tapi sepertinya tidak bisa sekarang. Perlahan aku pasti bisa
membuatmu jatuh cinta padaku Rif dengan puisi-puisi yang ku ciptakan
untukmu. Dan berkat hari ini aku bersyukur karena aku bisa bersama
denganmu bukan hanya itu aku pun bisa melihat senyumanmu yang kau
tunjukkan kepadaku.
Esok hari seperti biasa saat pulang sekolah aku menyempatkan diri
untuk memberikan puisi yang ku taruh di laci meja Rifa. Tampak ada
keanehan yang kurasakan ataukah hanya perasaanku saja. Tak biasanya
seluruh teman-temanku di kelas pulang secara bersamaan, yang aku tahu
selalu ada penunggu terakhir berada di kelas ini hingga aku harus
menunggu lama untuk menyampaikan surat ini. Meski hatiku gembira namun
firasatku seperti mengatakan ada yang berbeda. Di saat aku menaruh
secarik puisi di laci meja Rifa, di saat itu pula aku menemukan seluruh
puisi yang ku tulis selama ini tepat di laci ini.
“jadi itu benar dirimu ya An” sambut suara seorang wanita yang sudah ku
kenal dari arah belakang yang membuatku spontan terdiam dan tak berani
berkutik sidikitpun. Ku lihat seluruh teman satu kelasku berkumpul dan
memergokiku dengan tatapan sinis yang kini mereka tunjukkan padaku
termasuk Rifa yang seakan tak percaya dengan kejadian ini. Sepertinya
sejak awal mereka telah merencanakan semua ini dengan menahan Rian yang
sudah mengetahui rahasiaku sejak awal.
“dasar kutu buku, apa kau fikir dengan ini kau bisa mendapatkan cinta
Rifa” pekik Ferly di tengah heningnya suasana yang membuatku semakin
merasa kesal dan ingin memukul kepalanya, karena harus menanggung rasa
malu dihadapan seluruh siswa.
“Ferly, yang sopan” celetuk Rifa yang mulai naik darah. “tapi kita putus
gara-gara orang ini kan, gara-gara puisi yang setiap hari kau terima’
timpal Ferly yang tak mau kalah dengan tuduhan yang diberikan Rifa
seketika berlalu dengan wajah kesal. Benarkah semua gara-gara aku.
Mendengar itu aku tak tahu lagi harus bicara apa, aku pikir apa yang
kulakukan sudah benar tapi kenyataannya malah membuat pedih orang yang
kucintai. Aku berjalan keluar tanpa ada kata yang terujar, hatiku terasa
sa
“penakut!” untuk kedua kalinya aku mendengar untaian kata itu dari mulut
Rifa yang membuatku menghentikan langkahku dan berpikir sejenak.
“setiap hari kau mnyuruhku untuk mendengar hatimu, tapi kau tak pernah
sekali saja mau mendengarkan hatiku” timpal Rifa yang menahan isak
tangis. Ku beranikan diri membalikkan badanku dihadapan Rifa dan semua
anak. Ku berjalan perlahan hingga tepat dihadapan menatap matanya yang
tengah berkaca-kaca. Aku berlutut tepat dihadapannya sembari mengulurkan
tangan dan berusaha mengungkap semuanya.
“tak ada mawar, tak ada boneka, tak ada cincin atau yang lain. Hanya ada
kata-kata yang mengatakan aku mencintaimu, maukah kau jadi pacarku
Rifa?” entah bagaimana aku bisa memberanikan diriku untuk menyatakan
cintaku pada Rifa. Yang kufikirkan adalah bahwa tak selamanya cinta ini
ku pendam, mungkin ini adalah waktu yang tepat.
“terima kasih telah mencintaiku dan mulai sekarang bolehkah aku belajar
mencintaimu” ujar Rifa sembari memapahku untuk berdiri dengan senyuman
manis yang terbalut dari raut mukanya. Dan artinya Rifa menerima
perasaanku. Tuhan! terima kasih kau telah menjawab semua do’a ku, kini
usahaku tidak sia-sia dan akhirnya cinta yang ku pendam selama 13 tahun
terjawab sudah.
kit dan ingin sekali memukul diriku sendiri yang tak tahu harus
melakukan apa.
Seluruh siswa yang tadinya memandangku sinis, kini beralih bertepuk
tangan untuk kami berdua. Apa kalian tahu? sebenarnya di balik sifat
cuek yang kuberikan pada Rifa terdapat kebaikan yang tidak ingin ku
ungkapkan tapi itu sudah ku laksanakan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa
dalam gelapnya kehidupanmu masih ada aku yang akan senantiasa menjadi
cahaya di dalam pelita hatimu.
THE END